(Koran Suara
Pembaruan Kamis, 30 Oktober 2014 Halaman A11)
Kurang dari
24 jam setelah “Kabinet Kerja” Jokowi diumumkan di Istana Merdeka, saya
“hunting” ke beberapa tokoh. Dua konglomerat raksasa, satu pengusaha papan menengah,
seorang pemain bursa papan atas, pengamat ekonomi yang namanya malang-melintang
sejak era Soeharto, anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) pemerintahan SBY,
seorang petinggi aparat keamanan sudah pensiun dari jabatan amat strategis,
seorang diplomat senior hampir mendekati pensiun dan seorang akademisi ekonomi
berusia hampir 70 tahun.
Kepada
mereka saya mengajukan satu pertanyaan yang sama, yaitu “Bagaimana pendapat Bapak
tentang kabinet Jokowi? Singkat saja, Pak.” Saya terdorong untuk “opinion
hunting” sebagai cermin buat saya, karena sejak awal saya menilai kabinet Jokowi
memprihatinkan. Setelah berwacana lebih dari dua bulan sejak pembentukan Tim
Transisi pimpinan Rini Sumarno, kok begini kabinetnya?
Berikut
adalah jawaban yang saya peroleh berdasarkan perbincangan singkat atau lewat
SMS. “Kabinet boleh juga, walau tidak begitu bagus. Rata rata saya kasih nilai
6,5 sampai 7,5 untuk para menteri, tapi ada satu menteri yang kurang 6
nilainya,” kata taipan kelas kakap blak-blakan. Dia mengakui Menko Perekonomian
lemah, “Tapi kan dia orang Jusuf Kalla nanti kan (dia) tinggal jalankan
instruksi JK,” sambungnya ketawa penuh arti.
“Tim ekonomi
weak, sayang. Tapi kalau Jokowi berani firmed sikapnya dalam menjalankan semua
kebijakan, masih bisa tertolong, Menko Ekonomi tidak pas, mestinya figur lebih
kuat,” begitu komentar konglomerat kelas kakap yang satu nya lagi yang sedang
berada di Singapura. Ia kemudian memberikan argumentasi yang cukup panjang.“Komentar
paling pas untuk kabinet adalah under expectation. Itu saja, Pak!” reaksi
pengamat ekonomi dengan pengalaman lebih dari 30 tahun sambil tertawa. Tentang figur Menteri Perdagangan, ia berkata:
“Mungkin itu satu kecelakaan ya......” Tapi dia cepat-cepat menambahkan: “Anda
mesti mengetahui bagaimana susahnya posisi politik Presiden Jokowi dalam
menyusun kabinet. Dia bisa survive saja sudah bagus, sudah merupakan ke berhasilan.
Ha ha ha ha,” tawanya kencang sekali. Saya tahu apa maksud kata “survive” itu. “Semoga
tidak menjadi negara patronase, Prof!” itu tanggapan singkat pensiunan petinggi
aparat keamanan. Maksudnya, sebagian menteri punya “cantolan” di belakangnya. Mereka ditunjuk oleh patronnya
karena punya ke pentingan tertentu.
Dari Tokyo, kawan saya, seorang pemain bursa papan atas
dengan omset triliunan rupiah per tahun, bereaksi: “Tim ekonomi kurang
meyakinkan, maka reaksi pasar lemah. Pasar masih harus menunggu,” komentarnya.
Dari
diplomat senior pun saya mendapat komentar senada: “Reaksi pasar tidak bagus,
rupiah melemah, Menteri ESDM yang diharapkan berantas mafia minyak, bagian dari Pertamina dan dekat de ngan ..........
(disebutkan nama seorang menteri lain). Bagaimana bisa bereskan mafia
minyak?”
Dari lantai
bursa, total transaksi hingga tutup Selasa sore, hanya menca pai Rp 3,4
triliun, jauh di bawah ratarata Rp 4,4 triliun selama 4 pekan terakhir. IHSG
Selasa sore ditutup melemah 1,579 poin atau 0,362%. Sehari setelah ka binet
diumumkan, IHSG malah melorot 4,8%. “Investor masih wait and see, masih
memantau rinci an kebijakan ekonomi ka binet baru,” kata seorang konsultan
ekonomi bank swasta besar.
Pasar atau
market adalah entitas yang kadang misterius. Dalam ilmu eko nomi diterangkan
antara lain bahwa pasar adalah tempat pertemuan antara pembeli dan penjual. Berapa harga sebuah komoditas
terbentuk dan berapa omzet yang terjual, biasanya, ditentukan oleh pasar. Soal
pasar, ada satu terminologi yang disebu t “sentimen pasar”. Sentimen bisa
positif, bisa juga negatif. Ketika hasil polling semua lembaga polling bergengsi
mengatakan Jokowi-Jusuf Kalla memenangkan Pilpres 9 Juli 2014, pasar secara
spontan menunjukkan sentimen po sitif: IHSG langsung meningkat sekian persen.
Jokowi harus
diakui sebuah “magnit politik” yang punya pengaruh dahsyat. Dia sosok pemimpin
yang lain daripada yang lain: merakyat, sederhana, amat santun dan punya obsesi
untuk mentransformasikan Indonesia. Maka, rakyat di mana-mana mengeluk-elukkannya.
Jutaan rakyat Indonesia secara sukarela menamakan diri “Relawan Jokowi” dan
bekerja pon-tangpanting tempo hari tanpa dibayar satu sen pun untuk mendukung
Jokowi sebagai presiden. Dan Jokowi
bersama JK akhirnya menang, meski
melalui proses panjang, alot dan menegangkan.
“What Happen”
Setelah
resmi dilantik bersama JK sebagai Presiden dan Wapres pada 20 Oktober,
kini waktunya bagi pasangan itu untuk bekerja. Bekerja dengan bantuan sebuah
kabinet. Tapi, ketika kabinet disusun dan diumumkan, banyak sekali kalangan
kecewa dan berta nyatanya: What happen dengan Jokowi? Karena kabinetnya dinilai
tidak bagus, wajar kalau publik meragukan kemampuan kabinet untuk mengimplementasi
sekian banyak impian nya demi Indonesia yang lebih sejahtera, lebih adil dan
lebih disegani di dalam maupun di luar negeri.
Apanya yang
lemah dengan kabinet JKWJK ? Pertama,
pemilihan sebagian menteri terkesan “asal comot”, tidak didasarkan atas prinsip
“the right man in the right place”. Ada se orang calon menteri yang semula
diplotkan sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, dan memang cocok di kursi itu.
Tapi, last minutes posisinya berubah jadi Menteri Penertiban Aparatur Negara.
Ada menteri yang duduk di sebuah portfolio tapi sama sekali tidak ditunjang
oleh pengalaman di bidang tersebut.
Kedua, penetapan menteri, sebagian tampak
sekali amat tergesa-gesa karena mengejar waktu dan untuk memenuhi harapan
rakyat agar kabinet segera bekerja. Sejumlah menteri baru di beritahukan last minutes, pada menit menit
terakhir. Ada pula menteri yang ditetapkan pada injury time, waktu perpanjangan
sebagai kompensasi “stop watch” dalam pertandingan sepakbola. Sebaliknya, pada last
minutes pula, beberapa menteri mendadak dicoret namanya bahkan ada seorang
calon menteri yang sudah diantarkan kemeja putih dan sudah datang ke Istana
dengan mengenakan seragam baju putih pula hanya untuk diberitahukan bahwa dia
batal jadi menteri. Ada menteri yang semula sudah dicoret namanya, namun masuk
lagi dalam daftar pada injury time gara gara
tokoh yang semula duduk di kursi itu digempur habis oleh sejumlah LSM dan
terpaksa harus didrop.
Ketiga, pemilihan menteri, sebagian, betul betul
berdasarkan prinsip patronase. Patronnya tidak lain dua sosok kuat yang sangat dominan
dalam penyusunan kabinet. Banyak kader PDI P yang amat kecewa terhadap ketua
umumnya. Mereka kader kader cakap dan memang sudah diplot kan jadi menteri. Tapi menjelang Hari H, nama
mereka “lenyap”. Kenapa Joko Widodo sebagai Presiden tidak menggunakan hak prerogatifnya sebagaimana dijamin UUD 945?
Ah, Jokowi berhasil
jadi Presiden RI karena bantuan begitu banyak
pihak, ter masuk para penyandang
dana.
Keempat, pemilihan menteri juga berdasarkan
prinsip “bagi-bagi kursi”, diakui atau tidak. PDIP diberi kan jatah 4 kursi,
PKB 4, Nasdem 3, Hanura 2, PPP 1. Seorang petinggi PDIP secara terbuka
memprotes, mengapa kursi menteri dari PDIP dan PKB sama? Bukankah kursi PDIP di
DPR jauh lebih banyak di bandingkan kursi PKB? Figur Khofifah Indar Parawansa
rupanya agak “kontroversial”: dia mewa kili PKB atau NU? Kalau mewakili PKB,
maka PKB benar meraih 4 kursi menteri.
Sama dengan proses
penyusunan kabinet pada era SBY, Presiden Jokowi meminta daftar nama menteri
dari masing-masing ketua umum partai pendukungnya. Ketika Wiranto dicoret namanya,
maka Hanura berhak mengajukan satu nama lagi sebagai pengganti Wiranto. Maka, muncullah
nama Saleh Husin. Yang banyak disorot bukan sosok menteri ini, melainkan kursi
yang didudukinya. Orang meragukan kompetensinya sebagai Menteri Perindustrian.
Lepas dari kelemahan dan kekurangan kabinet JokowiJK,
pasar dan masyarakat tetap menunggu. Maka, berikanlah kesempatan kepada para
menteri untuk bekerja dan bekerja keras. Hanya saja, Presiden Jokowi jangan
sekalikali lupa akan janji-janji yang sering dicanangkan dalam kampanye pilpres
tempo hari. Setiap menteri harus mampu segera mewujudkan janji-janji Jokowi minimal
dalam 100 hari kerja sudah tampak tanda-tanda menggembirakan. Kalau ti dak,
reshuffle kabinet rasa nya suatu keniscayaan.
Penulis adalah seorang
Pengamat Politik senior
Tidak ada komentar:
Posting Komentar